Proyek Tanpa Empati, Jembatan Rp4,8 Miliar yang Menghancurkan Akses dan Harapan



KabarOne.ID | Lhokseumawe — Di tengah harapan akan infrastruktur yang memudahkan hidup, proyek Jembatan Alue Awee justru menambah daftar panjang pekerjaan publik yang sarat masalah. Dengan nilai fantastis mencapai Rp4,8 miliar dari APBN Tahun Anggaran 2025, proyek ini malah menelurkan polemik yang mengguncang kepercayaan warga terhadap lembaga pengelola jalan nasional.

Berlokasi di Jalan Elak, Desa Alue Awe, Kota Lhokseumawe, proyek ini berada di bawah pengawasan Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh – Satker Wilayah I, dikerjakan oleh PT Dua Berlian Group asal Bireuen, dengan supervisi teknis oleh CV Mukti Partner Consultant KSO bersama PT Artek Utama.

Namun sejak pengerjaan tersebut dimulai, apa yang terjadi di lapangan jauh dari semangat pelayanan publik. Warga justru menyaksikan akses mereka terputus total tanpa solusi yang memadai. Proyek yang seharusnya menjembatani kebutuhan justru menjadi simbol keterputusan, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara sosial.

Warga sekitar mengaku terjebak dalam ketidaknyamanan yang nyaris tak termaafkan. Apa yang disebut sebagai "jalur alternatif" hanyalah jalan kampung sempit, licin, penuh kelokan tajam, dan tidak layak untuk kendaraan roda empat.

"Yang ada hanya pengumuman pengalihan jalan. Tapi jalurnya bukan dibangun baru, cuma pakai jalan lama yang rusak dan berbahaya. Roda empat saja kesusahan lewat," keluh Muharil, mahasiswi yang setiap hari mempertaruhkan keselamatan saat melintas.

Tak hanya menyulitkan akses sekolah dan kerja, kondisi ini juga memukul sektor ekonomi lokal. Para pedagang kecil kehilangan pelanggan. Aktivitas masyarakat tersendat. Mereka merasa seperti dikorbankan demi laporan serapan anggaran.

Lebih menyakitkan, papan informasi proyek yang seharusnya menjadi bentuk keterbukaan publik disembunyikan secara sengaja, seolah proyek ini ingin dijalankan dalam senyap. Padahal, keterbukaan adalah prinsip dasar dari setiap program yang dibiayai uang negara.

Langkah ini menimbulkan tanda tanya besar. Jika proyek ini benar, mengapa informasi dasarnya harus ditutup-tutupi? Apakah ada sesuatu yang tidak ingin diketahui publik?

Ketika dikonfirmasi pada Kamis (26/6), Isnanda, selaku PPK Provinsi Aceh, menyebut proyek ini telah melalui survei bersama instansi terkait seperti kepolisian dan dinas perhubungan. Ia juga mengklaim jalur utama Banda Aceh–Medan masih dapat diakses, sehingga tak seharusnya menjadi kendala.

Ia bahkan menegaskan bahwa proyek ini mendapat dukungan dari kepala desa dan masyarakat setempat. Namun pernyataan ini bertabrakan dengan kenyataan lapangan. Banyak warga mempertanyakan siapa sebenarnya yang memberi dukungan tersebut.  

"Kami bukan menolak pembangunan. Kami menolak diperlakukan seperti tak ada. Tidak semua suara bisa dibungkam dengan tandatangan keuchik atau kesepakatan sepihak," ujar salah seorang warga yang enggan identitasnya dipublis.

Sementara itu, pihak pengawas dari Mukti Consultant tak pernah memberi klarifikasi hingga berita ini tayang. Ketidakhadiran mereka di tengah polemik yang membara hanya mempertegas bahwa sistem pengawasan proyek negara sedang sakit parah.

Melihat kondisi ini, warga mendesak Kementerian PUPR agar segera turun tangan. Mereka meminta agar proyek semacam ini tidak lagi menjadi tempat bermain bagi pihak-pihak yang hanya peduli pada kontrak, bukan dampak.

Jika fungsi pengawasan oleh Balai Wilayah I Aceh terus dibiarkan seperti ini, maka patut dipertanyakan:

  • Siapa sebenarnya yang dilayani oleh proyek ini?

  • Apakah ini untuk kemajuan wilayah atau hanya demi target kuantitatif?

  • Sampai kapan rakyat harus menjadi korban kebijakan teknokratik tanpa hati?

Proyek Jembatan Alue Awee bukan hanya contoh pembangunan yang cacat dari sisi teknis, tetapi juga gagal dari sisi moral dan sosial. Ketika infrastruktur dibangun tanpa mempertimbangkan realita lapangan dan suara warga, maka proyek itu telah kehilangan jiwanya.

"Kami butuh jembatan, bukan jebakan," ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Kini publik menunggu, apakah pemerintah pusat mau turun tangan atau justru membiarkan proyek seperti ini menjadi preseden buruk yang berulang. Karena jika pembangunan hanya jadi alat pamer serapan dana, maka rakyat hanya akan terus jadi penonton yang kecewa.

Sudah saatnya Balai Wilayah I, PPK, dan para pelaksana proyek berhenti bekerja dari balik meja dan mulai membuka mata terhadap kondisi nyata di lapangan. Karena pembangunan tanpa empati, hanyalah bentuk baru dari penindasan yang dibungkus nama kemajuan.(*)

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru