Empat Bupati Termasuk Aceh Utara Nyatakan Tak Sanggup Hadapi Banjir, Gubernur Aceh Beri Teguran Keras
KabarOne.ID | Aceh Utara - Rentetan bencana banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Aceh dalam beberapa pekan terakhir tidak hanya menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat, tetapi juga membuka fakta mengejutkan terkait sikap sejumlah kepala daerah. Beberapa bupati secara resmi menyatakan ketidaksanggupan menghadapi situasi darurat akibat bencana hidrometeorologi yang terus memburuk.
Sikap tersebut langsung menuai sorotan tajam publik, terlebih setelah Gubernur Aceh, H Muzakir Manaf alias Mualem, secara terbuka memperingatkan para bupati dan wali kota agar tidak “cengeng” dan tidak lari dari tanggung jawab di tengah penderitaan rakyat.
Berdasarkan data yang beredar, setidaknya terdapat empat bupati yang secara terbuka menyampaikan ketidaksanggupan menghadapi bencana banjir besar yang melanda Aceh.
Pertama, Bupati Aceh Utara, Ismail A Jalil, menyampaikan pernyataan ketidaksanggupannya pada 2 Desember. Saat itu, Aceh Utara tengah dilanda banjir parah akibat luapan Sungai Keureuto dan sejumlah krueng kecil lainnya. Puluhan gampong terendam, ribuan warga mengungsi, rumah rusak, lahan pertanian gagal panen, dan aktivitas ekonomi lumpuh total.
Kedua, Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, menerbitkan surat ketidaksanggupan pada 27 November. Namun yang paling menyita perhatian publik adalah langkah Mirwan lima hari berselang, tepatnya Selasa (2/12), yang justru berangkat menunaikan ibadah umrah dengan memboyong keluarganya. Padahal, pada saat yang sama, ribuan warga di kawasan Trumon masih bertahan di pengungsian akibat banjir besar yang merendam rumah-rumah mereka. Keputusan ini langsung menuai kecaman luas dari masyarakat dan berbagai kalangan.
Ketiga, Bupati Aceh Tengah, Haili Yoga, juga disebut menyampaikan kondisi ketidaksiapan menghadapi dampak banjir dan longsor yang melanda wilayah dataran tinggi tersebut. Bencana yang terjadi tidak hanya merendam permukiman, tetapi juga memutus akses jalan, merusak fasilitas umum, serta mengganggu jalur distribusi logistik.
Keempat, Bupati Pidie Jaya, Sibral Malasyi, menyatakan sikap ketidaksanggupan melalui surat yang ditandatangani pada 25 November. Pidie Jaya sendiri tercatat sebagai salah satu daerah yang paling parah diterjang banjir, dengan ribuan rumah terendam, fasilitas pendidikan rusak, serta sawah-sawah warga rusak berat.
Deretan pernyataan ketidaksanggupan tersebut akhirnya memicu reaksi keras dari Gubernur Aceh, H Muzakir Manaf. Saat berada di Aceh Timur, Kamis (4/12/2025), Mualem secara tegas mengingatkan seluruh bupati dan wali kota di daerah terdampak agar tidak menyerah menghadapi bencana.
“Jangan cengeng lah orangnya jadi bupati. Itu saja sudah mengundurkan diri. Jangan lemah, kita harus proaktif membantu masyarakat, jangan lari dari tanggung jawab, jangan ambil alasan tidak tahu,” ujar Mualem dengan nada keras.
Gubernur menegaskan, jabatan kepala daerah adalah amanah besar yang harus dijalankan penuh tanggung jawab, terlebih saat rakyat berada dalam kondisi paling terpuruk. Menurutnya, jika ada kepala daerah yang benar-benar tidak sanggup menjalankan tugasnya di tengah situasi darurat, maka lebih baik mengundurkan diri secara terhormat.
“Saya instruksikan, kalau ada bupati atau wali kota yang cengeng menghadapi situasi seperti ini, lebih baik mundur saja. Masih banyak yang siap menggantikan,” tegasnya.
Selain menegur para kepala daerah, Mualem juga meminta seluruh instansi terkait, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten atau kota untuk terlibat aktif dalam penanganan bencana. Ia menekankan tidak boleh ada kerja setengah hati dalam membantu masyarakat terdampak banjir.
Menurut Mualem, sejumlah daerah mengalami kerusakan parah akibat bencana kali ini, di antaranya Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Takengon (Aceh Tengah), Aceh Tenggara, Aceh Selatan, hingga Bener Meriah. Ribuan rumah warga dilaporkan hanyut atau rusak berat, sementara fasilitas umum seperti sekolah, masjid, dan jembatan tidak sedikit yang ikut terdampak.
“Kita fokus mengirim bantuan darurat dulu seperti sembako dan kebutuhan penting lainnya. Pemerintah provinsi juga sudah bekerja semaksimal mungkin,” jelas Mualem.
Ia menambahkan, Aceh saat ini membutuhkan dana sangat besar untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
“Kita memerlukan anggaran besar untuk membangun kembali rumah-rumah warga. Diperkirakan lebih dari 20 ribu unit rumah rusak di wilayah seperti Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen hingga Pidie Jaya,” ungkapnya.
Namun tak lama setelah pernyataan keras Mualem itu bergulir di ruang publik, situasi justru memanas di Aceh Utara. Juru Bicara Pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Muntasir Ramli, terlihat panik dan buru-buru membantah bahwa teguran “bupati cengeng” tersebut tidak ditujukan kepada Bupati Aceh Utara.
Dalam pernyataannya kepada media, Muntasir menegaskan bahwa Bupati Aceh Utara Ismail A Jalil (Ayahwa) bersama Wakil Bupati Tarmizi Panyang tidak pernah meninggalkan rakyatnya sejak hari pertama banjir.
“Bupati dan Wakil Bupati terus berada di lapangan, berjibaku dengan lumpur, masuk ke kampung-kampung, menyusuri lokasi pengungsian, bahkan menjangkau wilayah terisolir dengan perahu karet dan boat nelayan,” ujar Muntasir.
Ia juga membantah keras anggapan bahwa surat ketidaksanggupan yang ditandatangani Bupati Aceh Utara merupakan bentuk menyerah atau ingin mundur dari jabatan. Menurutnya, surat tersebut lahir dari luapan emosi dan kepedulian mendalam terhadap penderitaan rakyat.
“Beliau menangis bukan karena cengeng, tapi karena melihat rakyatnya kelaparan, jenazah belum dievakuasi, warga hilang belum ditemukan, bantuan sangat minimal. Itu tangisan seorang pemimpin yang tidak sampai hati melihat rakyatnya menderita,” kata Muntasir.
Muntasir juga menegaskan bahwa pernyataan Mualem, menurut versi Pemkab Aceh Utara, lebih tepat ditujukan kepada kepala daerah yang meninggalkan wilayahnya saat bencana melanda, bukan kepada Ayahwa.
“Jadi sekali lagi kami tegaskan, itu bukan ditujukan kepada Bupati Aceh Utara,” ucapnya.
Meski bantahan tersebut disampaikan secara terbuka, polemik di tengah masyarakat tak mudah mereda. Di tengah penderitaan warga yang masih bertahan di tenda-tenda pengungsian, tanpa kepastian kapan kembali ke rumah, publik kini menanti langkah nyata para pemimpin daerah, apakah benar-benar hadir menghadapi krisis bersama rakyat, atau justru sibuk menyelamatkan citra di tengah bencana yang belum juga berakhir.(*)



















_page-0001.jpg)
