Ketika JKN Menjadi Cahaya di Tengah Sunyi Desa Lancok



KabarOne.ID | Aceh Utara – Suara ayam berkokok memecah kesunyian pagi. Matahari mulai menyapa pelan-pelan dari balik bukit, menembus celah jendela rumah panggung kayu yang mulai termakan usia. Di sanalah, di sebuah gampong sederhana yang dikelilingi oleh hamparan sawah dan pohon kelapa, tinggal seorang perempuan tangguh bernama Maryani Usman. Usianya kini 53 tahun, namun gurat-gurat wajahnya memantulkan ketegaran yang melampaui angka.

Hari itu, langit cerah. Di dalam rumahnya yang sederhana, Maryani duduk di dipan kecil. Di sampingnya, sebuah botol infus bekas tergantung, saksi bisu dari perjuangan panjang yang baru saja ia lalui. Wajahnya tampak lelah, tapi ada ketenangan yang tidak bisa disembunyikan. Ia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah menjalani operasi penting yang menyelamatkan lengannya dan mungkin hidupnya.

“Awalnya, saya tidak menyangka benjolan kecil itu akan membawa saya ke meja operasi,” katanya, sambil memandang jauh ke luar jendela. Suaranya pelan, tapi bertenaga. “Saya pikir itu cuma bengkak biasa. Tapi lama-lama sakitnya menusuk sampai ke tulang. Saya mulai lemas. Tidak bisa kerja. Tidak bisa masak. Hanya bisa pasrah.”

Benjolan Kecil yang Membawa Kekhawatiran Besar

Maryani adalah seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya membantu suami mengurus kebun kecil milik keluarga. Meski penghasilan tak menentu, ia tetap menjalani hari-harinya dengan sabar dan penuh rasa syukur. Namun hidup, seperti yang kita tahu, kadang menghadirkan ujian di saat yang paling tak terduga.

Benjolan itu tumbuh pelan tapi pasti di lengan kanannya. Awalnya sebesar biji kacang, lalu menjadi sebesar telur puyuh. Sakitnya datang dan pergi, namun rasa khawatir mulai menjalar. Maryani tahu, tubuhnya tidak lagi seperti dulu. Ia menderita diabetes mellitus, penyakit yang membuat tubuhnya lebih rentan terhadap infeksi dan komplikasi.

“Kata tetangga, mungkin itu bisul atau kista. Tapi saya punya kencing manis, jadi takut juga kalau makin parah,” ungkapnya.

Keputusan pun diambil. Suaminya, dengan bantuan anak sulung mereka, membawa Maryani ke Instalasi Gawat Darurat RSUD Cut Meutia di Aceh Utara. Di sanalah awal dari segalanya—pemeriksaan intensif, penanganan cepat, dan akhirnya keputusan medis yang tak bisa ditunda: operasi harus dilakukan.

Ruang Operasi dan Doa yang Tak Putus

Bagi sebagian orang, menjalani operasi bukan hanya perkara medis. Ini tentang nyawa, tentang ketakutan, dan sering kali tentang biaya. Tapi Maryani merasa berbeda. Di tengah rasa cemas, ia merasa tenang. Bukan karena ia tidak takut, tapi karena satu hal yang ia pegang teguh: kartu JKN dari BPJS Kesehatan.

“Begitu masuk rumah sakit, saya tunjukkan kartu JKN saya. Petugas langsung melayani, tidak tanya macam-macam. Mereka bantu dari awal. Saya merasa dihargai, saya merasa tidak sendirian,” kisah Maryani.

Operasi berlangsung selama lebih dari dua jam. Dokter dan tim medis bekerja dengan sigap. Saat Maryani siuman di ruang pemulihan, air mata haru menetes di pipinya. Ia masih hidup, dan lengannya berhasil diselamatkan.

“Saya tidak keluar uang satu rupiah pun. Dari masuk sampai keluar rumah sakit, semuanya ditanggung. Saya tidak tahu bagaimana jadinya kalau harus bayar sendiri,” katanya, menahan haru.

JKN: Pelindung di Tengah Ketidakpastian

Maryani merupakan peserta JKN dari segmen Penerima Bantuan Iuran (PBI). Artinya, iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Sebagai warga dengan ekonomi terbatas, kehadiran JKN seperti anugerah tak ternilai.

“Kalau tidak ada JKN, mungkin saya sudah diam di rumah, pasrah saja. Tapi karena saya punya jaminan, saya berani berobat,” ucapnya.

Ia juga memuji pelayanan rumah sakit yang luar biasa. Dokter dan perawat yang ramah, fasilitas yang memadai, serta proses administrasi yang cepat membuatnya merasa dihargai sebagai pasien.

“Saya bukan siapa-siapa. Tapi di rumah sakit, saya merasa diperlakukan seperti keluarga. Itu yang tidak bisa saya lupakan,” tambah Maryani.

Mengajak Masyarakat untuk Tidak Menunda Daftar JKN

Kini, setelah kembali ke rumah dan menjalani pemulihan, Maryani merasa perlu berbagi. Ia ingin masyarakat tahu bahwa JKN bukan sekadar kartu, tapi perisai yang melindungi di saat paling genting.

“Jangan tunggu sakit dulu baru daftar. Kalau bisa, daftarlah dari sekarang. Karena kita tidak pernah tahu kapan musibah datang. JKN ini sangat membantu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib saya tanpa program ini,” katanya penuh semangat.

Ia juga berharap agar pemerintah terus memperkuat program ini. Bagi Maryani dan jutaan warga lainnya, JKN bukan hanya soal kesehatan, tapi juga soal martabat.

“Dengan JKN, saya merasa punya hak yang sama seperti orang lain. Saya merasa aman, merasa dihargai. Terima kasih BPJS Kesehatan. Terima kasih pemerintah,” ujarnya, menutup kisahnya dengan senyum yang penuh makna.

Dari Balik Dapur Kayu, Lahir Ketegaran Seorang Ibu

Di balik rumah kecil Maryani, ada dapur tua berdinding papan dan atap seng berkarat. Kompor berbahan bakar kayu masih sering digunakan, meski anak-anaknya telah beberapa kali membujuknya beralih ke gas. “Masakan lebih enak pakai kayu,” ujarnya sambil tersenyum, “dan lebih hemat juga.”

Di dapur inilah Maryani biasa memasak untuk keluarga kecilnya. Suaminya, Usman (56), bekerja sebagai buruh tani musiman. Saat musim tanam dan panen, ia bisa membawa pulang uang secukupnya. Namun ketika musim kering datang atau ladang gagal panen, tak jarang mereka harus hidup dengan sangat sederhana—bahkan seadanya.

“Pernah selama tiga hari kami makan hanya dengan singkong dan air garam. Tapi hidup harus jalan. Anak-anak harus sekolah. Saya dan suami tidak bisa menyerah,” cerita Maryani.

Ketegaran Maryani tumbuh bukan dari kemewahan, melainkan dari tempaan hidup. Ia tak pernah mengeluh meski harus menjahit baju untuk tetangga demi tambahan penghasilan. Ia juga menjadi tukang urut tradisional, keterampilan yang diwariskan dari ibunya, semata-mata demi membantu biaya sekolah ketiga anaknya.

Kini, dua anaknya telah dewasa, satu di antaranya bekerja di kota sebagai tukang servis AC. Namun Maryani tetap memilih tinggal di kampung, menjaga rumah dan suaminya yang mulai renta. Ia mencintai tanah kelahirannya, dan di sanalah pula ia bersaksi akan makna dari rasa syukur yang tak pernah putus.

Kisah Para Tetangga: “Maryani Itu Pejuang Hidup”

Roslina, tetangga sebelah rumah, mengenal Maryani sejak kecil. “Dia itu orangnya tidak pernah mau menyusahkan orang lain. Bahkan waktu sakit kemarin, dia masih kuat-kuat masak sendiri. Kami yang harus paksa agar dia istirahat,” ujarnya.

Menurut Roslina, saat benjolan di lengan Maryani semakin besar, warga sempat khawatir. “Kami semua takut. Tapi Alhamdulillah, anaknya cepat bawa ke rumah sakit. Dan BPJS benar-benar membantu. Kami semua di desa ini merasakan manfaat JKN. Bukan cuma Maryani.”

Hal serupa dikatakan oleh Pak Ramli, kepala dusun yang beberapa kali membantu warga mengurus administrasi kepesertaan BPJS. “Kalau dulu orang takut ke rumah sakit karena biaya, sekarang tidak lagi. Sudah banyak warga yang tertolong karena punya kartu JKN. Program ini bukan cuma bantu orang sembuh, tapi juga menyelamatkan harapan hidup.”

Dari Rumah Sakit ke Rumah Harapan

Saat menjalani perawatan di RSUD Cut Meutia, Maryani ditempatkan di ruang perawatan kelas III. Tapi jangan salah, fasilitasnya tetap layak dan bersih. Bahkan Maryani merasa tenang karena setiap hari dokter datang memantau kondisi kesehatannya.

“Saya sempat pikir, karena saya pasien JKN dan bukan orang kaya, akan dibeda-bedakan. Tapi tidak. Semua pasien dilayani sama baiknya. Bahkan perawatnya suka ngajak ngobrol biar saya tidak bosan,” kisah Maryani.

Dokter yang menanganinya, dr. Nabila, mengatakan bahwa kasus Maryani bisa menjadi lebih parah jika tidak segera ditangani. “Kami melakukan pembedahan untuk mengangkat jaringan yang sudah terinfeksi dan mencegah penyebaran ke bagian tubuh lain. Beruntung keluarga segera membawanya ke IGD. Dan karena sudah terdaftar di JKN, semua proses bisa langsung berjalan tanpa hambatan administrasi.”

Menurutnya, keberadaan Program JKN sangat penting untuk memastikan setiap warga bisa mengakses layanan kesehatan, tanpa terkendala ekonomi. “Bukan hanya Maryani, banyak pasien lain yang bisa ditolong karena mereka punya jaminan kesehatan. Ini bukti nyata dari keadilan sosial,” ujarnya.

Melampaui Penyakit: Bangkit dengan Harapan Baru

Kini Maryani masih menjalani rawat jalan, dan sesekali kontrol ke rumah sakit. Tapi semangat hidupnya kembali menyala. Ia kembali bisa membantu memasak, menyapu halaman, dan menjemur pakaian. Anak-anaknya pun merasa lebih tenang melihat ibu mereka kembali tersenyum.

“Saya tidak tahu harus bilang apa lagi. Terima kasih BPJS. Terima kasih JKN. Program ini bukan hanya menyelamatkan tubuh saya, tapi juga menyelamatkan hidup saya sekeluarga,” katanya.

Ia berharap lebih banyak masyarakat yang sadar dan segera mendaftarkan diri ke program JKN. “Bukan soal sakit atau sehat. Tapi soal rasa aman. Soal ketenangan batin. Itu yang tidak ternilai.”

Ajakan untuk Seluruh Masyarakat Indonesia

Dari cerita Maryani, kita belajar satu hal penting: bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap manusia, bukan hak istimewa segelintir orang. Dan Program Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola oleh BPJS Kesehatan telah mewujudkan mimpi itu.

Kini, masyarakat dari berbagai latar belakang—baik buruh, petani, nelayan, ibu rumah tangga, hingga mereka yang tidak mampu—bisa mendapatkan layanan medis tanpa harus takut akan beban biaya.

BPJS Kesehatan telah membuka jalan menuju Indonesia yang lebih sehat, lebih sejahtera, dan lebih adil. Namun, peran masyarakat sangat penting. Daftarlah menjadi peserta JKN. Lindungi diri dan keluarga. Jangan tunggu hingga sakit datang.

“Saya sudah membuktikan sendiri. JKN menyelamatkan saya. Sekarang giliran kalian, saudara-saudaraku. Daftarlah. Jangan tunda. Karena hidup ini penuh kejutan, dan kita butuh perlindungan,” pesan Maryani dengan penuh ketulusan.(*)


Postingan Lama
Postingan Lebih Baru