Dinas Kesahatan Aceh Utara : Cegah TB Rasistan Obat Melalui Promosi Pengobatan TB dengan TOSS TB

Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara. (Foto : Dok Dinkes)
KabarOne.ID  | Aceh Utara - Penderita tuberkulosis (TB) membutuhkan kedisiplinan pasien dalam menjalankan proses pengobatan secara teratur. Pasien yang berhenti sebelum jangka waktu pengobatan itu berakhir memiliki risiko resistensi obat. Kasus semacam ini memperberat upaya penanggulangan TB di Indonesia.

Menanggulangi TB adalah persoalan berat bagi Indonesia. Kasus TB resisten obat memperberat tugas itu, hal itu dikarenakan pengobatan lini pertama tidak lagi berdampak. Kasus resisten obat tersu bermunculan  karena kepatuhan untuk mengonsumsi obat yang rendah.

Indonesia belum keluar dari daftar negara penyumbang kasus TB di dunia. Bukan hanya Indonesia, bahkan puluhan negara lainnya masih menghadapi perang melawan penyakit ini. Sehingga TB masih menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Untuk mengendalikannya, pemerintah menyediakan sumberdaya, sarana, dan prasarana penanggulangan TB di seluruh Indonesia.

Untuk itu, salah satu Pemerintah Kabupaten atau Kota di Provinsi paling barat Indonesia yakni Kabupaten Aceh Utara yang memiliki kasus penyakit bakteri Tuberkolusis terus berupaya untuk menekan angkat penderita TB di Kabupaten tersebut. 

Berdasarkan data yang diperoleh media ini, pada tahun 2017 lalu penderita penyakit Tuberkolusis di Kabupaten Aceh Utara hanya 460 orang, pada tahun 2023 angka tersebut meningkat menjadi 1.247 orang.

Oleh karenanya, pada tahun 2024 ini Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh terus berupaya menekan angka tersebut dengan berbagai langkah yang dilakukan, seperti mengajak seluruh masyarakat untuk bersama-sama menangani TBC di Kabupaten tersebut.

Kepala Dinas Kesehatan Aceh Utara, Amir Syarifuddin, Kamis (24/10/2024) menyebutkan, mayoritas masyarakat menganggap batuk sebagai gejala awal TBC sebagai batuk biasa, sehingga enggan berobat. Padahal, penyakit tersebut mudah menular dan membutuhkan perawatan medis secara serius. Penyakit yang disebabkan bakteri tersebut bisa menimbulkan gangguan pada saluran napas.

Lanjut Amir, dari waktu ke waktu, Dinas Kesahatan Kabupaten Aceh Utara terus melalukan berbagai upaya guna menekan angka penderita penyakit tersebut di kabupaten itu, salah satunya dengan gencar melakukan sosialisasi tentang pentingnya kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap bahayanya penyakit tersebut.

APA ITU TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT (TBC-RO) 

TBC RO (Resistan Obat) atau TBC Kebal Obat adalah TBC yang disebabkan oleh bakteri yang sudah kebal obat akibat pasien menghentikan pengobatan TBC sebelum dinyatakan sembuh atau cara pengobatan yang tidak tepat.Diagnosis TBC RO sendiri dapat diketahui melalui pemeriksaan Tes Cepat Molekular (TCM) maupun uji kepekaan.

Tuberkulosis RO tidak dapat diobati dengan obat tuberkulosis biasa, dan harus menggunakan obat lain yang disebut Obat Anti Tuberkulosis ini 2 (OAT LINI 2).Pengobatan TBC RO di Indonesia saat ini menggunakan paduan obat tanpa injeksi yang terbagi menjadi tiga, yaitu paduan pengobatan TBC RO 6 bulan, 9 bulan,  dan 18 bulan. Tuberkulosis RO harus diobati dengan segera, jika tidak diobati dengan tepat, maka bakteri dapat semakin kebal dan tidak ada lagi obat untuk menyembuhkannya. 

PERBEDAAN TBC SENSITIF OBAT (SO)DAN RESISTAN OBAT (RO)

TBC SO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis masih sensitif terhadap Obat Anti TB (OAT) dengan masa pengobatan selama kurang lebih 6-9 bulan, sedangkan TBC RO adalah kondisi di mana kuman Mycobacterium tuberculosis telah mengalami kekebalan terhadap Obat Anti TB (OAT). Masa pengobatan bagi orang dengan TBC RO dapat berkisar antara 9-24 bulan.

Pedoman Terbaru Pengobatan TBC RO

Tepat pada tanggal 15 Desember 2022 lalu, WHO baru saja merilis pedoman terbaru tentang pengobatan TBC RO khususnya TBC multidrug-resistant/rifampicin-resistant (TBC MDR/RR). Pedoman tersebut mencakup rekomendasi baru tentang penggunaan paduan 6 bulan baru. Yang terdiri dari bedaquiline, pretomanid, linezolid dan moksifloksasin (BPaLM) pada orang yang menderita TBC MDR/RR dengan resistansi tambahan terhadap fluorokuinolon (TBC pre-XDR). Di mana semua obat ini diminum oral tanpa ada suntikan.

Paduan BPaLM dan BPaL yang baru direkomendasikan ini memperlihatkan keberhasilan pengobatan yang sangat baik (88%) dengan durasi pengobatan yang lebih singkat. Hal ini memberikan harapan dan secara signifikan dapat meningkatkan kualitas hidup orang dnegan TBC MDR dan pre-XDR.

Rekomendasi ini berlaku untuk:

  • Orang dengan TBC MDR/RR atau dengan TBC MDR/RR dan resistansi terhadap fluorokuinolon (pre-XDR-TB).
  • Orang dengan TBC paru yang dikonfirmasi dan semua bentuk TBC ekstra paru kecuali TBC yang melibatkan TBC sistem saraf pusat, osteoarticular, dan diseminata (milier).
  • Dewasa dan remaja berusia 14 tahun ke atas.
  • Semua orang tanpa memandang status HIV.
  • Pasien dengan paparan bedaquiline, linezolid, pretomanid, atau delamanid sebelumnya kurang dari 1 bulan. Ketika pajanan lebih dari 1 bulan, pasien ini mungkin masih menerima paduan ini jika resistansi terhadap obat tertentu dengan pajanan tersebut telah dikesampingkan.

Rekomendasi ini tidak berlaku untuk:

  • Wanita hamil dan menyusui karena terbatasnya bukti keamanan pretomanid.

Dengan rekomendasi WHO terbaru BPaL/M tersebut membuka harapan bagi pasien TBC RO termasuk di Indonesia, untuk memperoleh pilihan pengobatan yang lebih pendek dan angka keberhasilan yang juga baik.(Adv)

Postingan Lama
Postingan Lebih Baru