PWI Aceh: Tuduhan “Wartawan Tak Bisa Dipercaya” Adalah Cermin Kebodohan Publik



KabarOne.ID | Banda Aceh – Dunia pers di Aceh kembali diguncang oleh pernyataan tak bertanggung jawab. Sebuah video dari akun TikTok bernama Saif Lofitr, yang diunggah ke grup WhatsApp Anggota PWI Aceh, menuding bahwa wartawan tidak bisa dipercaya.

Dengan gaya meyakinkan, sosok dalam video itu menggunakan bahasa Aceh dan menyebut, “Meunyoe berita dari wartawan, dari jameun keu jameun memang hanjeut tapateh syadara, le sulet,” yang berarti, “Kalau berita dari wartawan dari masa ke masa memang tak bisa dipercaya, banyak bohong.”

Ucapan ini seketika memancing reaksi keras dari kalangan jurnalis. Bagi banyak wartawan, tudingan tersebut bukan sekadar hinaan, tapi bentuk pelecehan intelektual terhadap profesi yang diatur oleh undang-undang.

Video itu pertama kali dibagikan oleh Ketua Dewan Kehormatan PWI Aceh, HT Anwar Ibrahim, pada Kamis, 16 Oktober 2025. Dalam hitungan menit, grup WhatsApp PWI Aceh berubah jadi arena perdebatan serius.

Azwani Awi menulis dengan nada marah, “Sekarang bilang jangan percaya wartawan. Tapi nanti kalau keluarganya diperkosa, kehilangan, atau ada kejahatan, siapa yang pertama dicari? Wartawan.”

Ketua PWI Lhokseumawe, Sayuti Achmad, bertanya sinis, “Pane ureung apa nyan?

Sementara Pemred Harian Rakyat Aceh, Sulaiman, menilai pernyataan itu sebagai bentuk hate speech terhadap profesi jurnalis.

Lebih tegas lagi, Ketua PWI Sabang, Jalaluddin ZKY, mendesak agar kasus ini dilaporkan ke polisi karena termasuk pelecehan profesi. Pandangan itu langsung diamini Sekretaris PWI Aceh Selatan, Sudirman, yang menegaskan, “Ini wajib dilaporkan agar jadi pelajaran publik.”

Zacky, wartawan beritaaceh.com, menulis panjang. Ia menyebut pernyataan itu sebagai “pelecehan gamblang terhadap profesi wartawan oleh manusia sinting yang tak tahu sejarah perjuangan pers.”

“Banyak wartawan masa konflik yang bekerja di bawah desingan peluru. Mereka mempertaruhkan nyawa demi kebenaran. Sekarang profesi kami dicaci tanpa dasar, itu penghinaan berat,” tulisnya.

Ketua PWI Aceh, Nasir Nurdin, menegaskan pihaknya tidak akan diam terhadap tuduhan yang merusak marwah profesi.

“Itu tuduhan yang sangat menyakitkan dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” ujarnya tegas.

Nasir menilai, tuduhan itu menunjukkan rendahnya literasi media dan ketidaktahuan publik tentang peran wartawan.

“Pengetahuan Anda tentang wartawan sangat dangkal, bahkan nyaris tidak ada. Kalau Anda menuduh wartawan tak bisa dipercaya, mungkin Anda pernah berurusan dengan wartawan gadungan atau membaca media abal-abal. Karena musuh utama wartawan profesional adalah kebohongan,” tandas Nasir.

Ia juga menegaskan bahwa profesi wartawan bukan ruang bebas, melainkan profesi yang terikat hukum, etika, dan tanggung jawab sosial.

Azhari, Wakil Ketua Bidang Advokasi PWI Aceh, menegaskan bahwa wartawan bekerja berdasarkan fakta dan prinsip objektivitas, bukan atas keinginan atau tekanan pihak mana pun.

“Wartawan tidak menulis untuk menyenangkan pihak tertentu. Tugasnya menyampaikan kebenaran berdasarkan data dan verifikasi,” kata Azhari.

Ia menjelaskan, wartawan bekerja di bawah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Dua hal itu menjadi pagar moral dan hukum agar informasi yang disampaikan bisa dipercaya publik.

“Setiap berita harus diverifikasi, diklarifikasi, dan disajikan seimbang. Kalau ada wartawan yang melanggar, ada mekanisme Dewan Pers. Tapi menuduh semua wartawan pembohong, itu kebodohan publik,” tambah Azhari.

Kasus ini membuka mata bahwa literasi media di Aceh masih sangat rendah. Banyak masyarakat gagal membedakan antara wartawan profesional dan pembuat konten liar di media sosial.

Tidak semua yang menulis berita di internet adalah wartawan. Media sosial sering jadi sarang disinformasi, tapi profesi pers justru berjuang melawannya,” ujar Nasir Nurdin dalam pernyataan terpisah.

Wartawan senior Imran Joni bahkan mendorong agar PWI Aceh segera mengambil langkah hukum. “Laporkan ke aparat penegak hukum atas dasar pelecehan profesi dan perbuatan tidak menyenangkan sesuai Pasal 310 KUHP,” tegasnya.

Dukungan senada datang dari sejumlah jurnalis di Bireuen, Banda Aceh, hingga Medan yang menilai, diam terhadap penghinaan seperti ini sama saja dengan membiarkan kebodohan tumbuh di ruang publik.

PWI Aceh menegaskan, wartawan tidak anti kritik. Namun, kritik berbeda dengan fitnah. Kritik berbasis fakta dan niat memperbaiki, sementara fitnah berangkat dari kebencian dan kebodohan.

“Kritik kami terima, tapi tuduhan ‘wartawan pembohong’ adalah bentuk perusakan terhadap pilar demokrasi. Bila dibiarkan, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap kebenaran,” ujar Nasir.

Ia menambahkan, kepercayaan publik terhadap pers harus dilindungi dari serangan opini liar yang lahir dari ketidaktahuan.

Pers adalah pilar keempat demokrasi, bukan musuh masyarakat. Serangan terhadap wartawan sejatinya adalah serangan terhadap hak publik untuk tahu kebenaran.

PWI Aceh menegaskan akan menempuh langkah hukum bila pelaku tak segera memberikan klarifikasi dan permintaan maaf terbuka.

“Mungkin dia marah karena berita tak sesuai keinginannya. Tapi kebenaran tak bisa disesuaikan dengan selera. Wartawan bekerja bukan untuk menyenangkan siapa pun, melainkan untuk menjernihkan fakta,” tutup Azhari.(*)





---


Apakah Anda ingin versi ini saya lanjutkan menjadi artikel opini/editorial gaya tajuk rencana (lebih reflektif, nada redaksional, dan lebih menggugah publik agar melek media)? Itu akan membuatnya terasa seperti suara resmi lembaga pers.



Postingan Lama
Postingan Lebih Baru